Bagaimana Pribadi yang mengatasi diri menurut frankl Dalam pergulatan mencari jawaban atas eksistensinya, manusia dihadapkan pada paradoks-paradoks, yang mencakup beberapa aspek: fisik vs nonfisik; kesadaran vs ketidaksadaran; orientasi diri vs sesama manusia.
a. Fisik vs Spiritual
Secara lahiriah manusia terdiri dari aspek fisik (biologis). Konsekuensi dari aspek biologis ini manusia terikat dengan hukum fisik seperti lapar, sakit, mencari kepuasan biologis, tertarik pada dunia materi, dan sebagainya.
Di sisi lain, manusia juga terdiri atas aspek-aspek nonfisik, yaitu psikis, sosial, dan spiritual. Aspek biologis dan aspek spiritual kita ketahui sebagai dua kutub yang berlawanan. Sehubungan dengan kecenderungan manusia untuk mencari kepuasan biologis atau dunia materi, Viktor Frankl, psikolog dari akhir abad XIX yang ikut mengembangkan psikoterapi, menyatakan bahwa semakin seseorang memaksa mendorong dirinya ke arah kesenangan, ia akan semakin kurang mampu menikmati kesenangan. Kendati terdapat kecenderungan mencari kesenangan, di sisi lain usaha untuk itu justru akan menghalangi seseorang mencapai kepuasan (kebahagiaan).
Salah satu teknik yang relevan untuk mengatasi kecenderungan orang mencari kesenangan biologis atau dunia materi, menurut logoterapi (terapi yang berorientasi pada penemuan makna hidup, dikembangkan oleh Frankl) adalah bimbingan rohani. Bimbingan rohani diterapkan sebagai teknik terapi karena sesuai dengan pemikiran dasar Frankl tentang spiritualitas. Spiritualitas merupakan sisi transendensi pada manusia, yang mengatasi dunia fisik dan sosial, berfungsi memberikan makna hidup. Dengan mengembangkan spiritualitas (merealisasi nilai-nilai kehidupan berdasarkan suara hati), seseorang akan menemukan makna dari keberadaan (eksistensi) dirinya sebagai pribadi. Ini merupakan sumber rasa tentram. Spiritualitas yang terintegrasi dalam kepribadian seseorang akan sanggup memerdekakannya dari dorongan aspek fisik, psikis, maupun sosial yang seringkali bersifat menjebak. Yang dimaksud Frankl dengan “spiritualitas yang terintegrasi dalam kepribadian seseorang akan sanggup memerdekakannya dari dorongan aspek fisik, psikis, maupun sosial”, bukan berarti bahwa aspek fisik, psikis, dan sosial manusia diabaikan. Kata”terintegrasi” menunjukkan ada penyatuan dari beberapa aspek itu, dan membentuk keseimbangan pribadi secara total.
b. Kesadaran vs ketidaksadaran
Manusia memiliki dimensi kesadaran dan ketidaksadaran. Tiap-tiap orang memiliki bagian kepribadian yang tidak disadari (personal unconscious), yang berkembang di luar pengalaman sadar karena telah ditekan: dorongan-dorongan amoral, dorongan-dorongan seksual yang tidak dapat diterima, kebutuhan-kebutuhan egoistik, ketakutan, harapan-harapan irasional, pengalaman yang memalukan, dan motif-motif keji. Bagian kepribadian yang tidak disadari (karena ditekan) itu dalam kenyataan selalu mendesak untuk dipuaskan. Namun, dalam alam sadar, pemuasan terhadap dorongan bawah sadar tersebut tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan norma masyarakat. Orang yang sehat secara psikologis, sedikit demi sedikit telah berhasil menggali bagian kepribadiannya yang tidak disadari, dan mengintegrasikan sisi gelap (shadow) dengan bagian kepribadian yang disadari. Dengan jalan ini, seluruh komponen kepribadiannya dapat bekerja sama membentuk kesadaran penuh, diri (self) yang penuh tujuan.
c. Orientasi Diri vs Sesama
Sekalipun semua kebutuhan fisiologisnya terpuaskan, manusia tetap mengalami keterpisahan dari dunia sekitarnya. Rasa keterpisahan itu harus didobrak dengan menemukan ikatan-ikatan baru dengan sesama manusia, menggantikan ikatan-ikatan lama yang didorong oleh insting. Ada beberapa cara mencari dan mencapai kesatuan dengan sesama. Salah satunya lewat jalan kepatuhan kepada seseorang, kelompok, institusi, dan Allah. Dengan menjadi bagian dari seseorang atau sesuatu yang lebih besar, lebih berkuasa darinya, manusia mengalami identitasnya dalam hubungan dengan kekuatan pribadi atau lembaga yang dipatuhinya. Cara yang lain, dengan jalan berkuasa, menjadikan orang lain bagian dari dirinya (dominasi). Namun, sungguh ironis bahwa perwujudan hasrat kepatuhan total ataupun dominasi ini tidak pernah membuahkan kepuasan. Hanya ada satu syarat yang memuaskan kebutuhan manusia untuk mempersatukan dirinya dengan dunia, dan pada saat yang sama untuk memperoleh rasa integritas dan individualitas, yaitu cinta.